TANGGAL 6 Juni 1901 adalah hari kelahiran pejuang penggalang persatuan, Bung Karno. Maka tanggal 6 Juni 2001 merupakan HUT kelahirannya yang ke seratus. Tanggal 6 Juni merupakan momentum yang tepat karena dalam situasi negara dan bangsa Indonesia dalam ancaman disintegrasi, perjuangan Bung Karno, bersama pemimpin Indonesia lainnya dalam pergerakan kemerdekaan dapat membangkitkan kembali semangat kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan semangat baru diharapkan integrasi bangsa Indonesia dapat dipertahankan. Apa yang penulis sajikan merupakan ungkapan atas kekaguman terhadap Bung Karno sebagai penggalang persatuan bangsa yang terbesar.
Dalam menangkap kembali peran Bung Karno tersebut akan penulis sajikan tinjauan tentang studi dan aktivitas sosial- politiknya, yang kemudian berujung pada sumbangnya menggali nilai-nilai budaya yang menjadi causa materialis bagi keberadan dasar filsafat negara Pancasila.
Pengetahuan yang diperlukan Bung Karno memang lahir di Surabaya, tetapi masa remajanya dihabiskan di Mojokerto. Di kota kecil itu ia belajar ELS (Europeesch Lagere School/sekolah dasar buat anak-anak Eropa).
Masuknya Bung Karno kecil di ELS tersebut mengisyaratkan bahwa dirinya lebih dibandingkan anak orang kebanyakan. Untuk dapat belajar di sekolah itu ia harus mampu berbahasa Belanda, dan SPP sekolah tersebut mahal.
Dari ELS ia meneruskan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School, SLTP dan SLTA disatukan). Tentu biayanya lebih mahal lagi. Meski demikian ayahnya, yang Kepala Sekolah Rakyat (Volkschool), dapat membiayainya dengan mengabaikan pendidikan saudara-saudara perempuannya.
Ia menyelesaikan studi di HBS pada tahun 1921, lalu melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Tehnik (Technische Hofe School dan akhirnya mendirikan dan memimpin PNI tahun 1927.
Untuk mendukung posisi kepemimpinannya Bung Karno belajar banyak, dengan membaca buku-buku di perpustakaan Teheosophie di Surabaya dan STT Bandung. Ia juga belajar dari kehidupan alam dan lingkungan sosial setempat.
Maka pengetahuan Bung Karno sangat luas. Andai saja Bung Karno hanya memperlajari ilmu teknik melulu, Indonesia tidak akan mengenal pemimpin nasional bernama Sukarno (Bung Karno).
Hal penting lain yang terbukti kelak menjadi unggulan Bung Karno adalah kepandaiannya berpidato. Salah seorang yang dapat disebut sebagai guru berpidatonya adalah HOS Tjokroaminoto. Kebetulan selama di HBS, Bung Karno muda mondok di rumah Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam terkemuka.
Bung Karno memang mampu berpidato selama berjam-jam tanpa pendengarnya bosan. Kepandaiannya berpidati bukan saja diakui di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, seperti di Australia dan Amerika.
Di sekitar PNI Dengan bekal yang begitu besar tidaklah mustahil Bung Karno dapat berbuat begitu banyak untuk bangsanya dalam perjuangan kemerdekaan. Dimulai dengan pendirian Algemene Studie Club di Bandung pada tahun 1925. Perkumpulan itu seperti kelompok diskusi yang banyak didirikan oleh para mahasiswa dan cendekiawan sekarang. Kelompok diskusi itu memang baru merupakan perkumpulan akademis-teoritis (academic exercise). Dalam aktivitasnya Algemene Studie Club 1925 sampai Juni 1927 memang masih terbatas pada studi teori. Hal itu juga karena PKI masih jaya dan sanggup memegang "komando" pergerakan kebangsaan. Tetapi sesudah kegagalan pemberontakan rakyat yang digerakkan PKI November 1926 - Februari 1927 terjadilan "kekosongan" pimpinan pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu perlulah "kekosongan" itu diisi, dan sudah saatnya Algemene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Menarik perhatian bahwa peresmian berdirinya PNI berlangsung pada tanggal 4 Juli 1927.
Tanggal kelahiran PNI jelas bukan suatu kebetulan. Almarhum Adam Malik dalam bukunya Adam Malik Mengabdi RI pernah menjelaskan bahwa pilihan tanggal 4 Juli ada kaitannya dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat.
Sejarah mencatat proklamasi kemerdekaan Amerika berlangsung pada tanggal 4 Juli 1776 di Philadelpia. Dengan memilih 4 Juli sebagai hari berdirinya PNI, para pemimpin PNI berharap semangat, siasat dan keberhasilan revolusi kemerdekaan Amerika akan mengilhami semangat, siasat dan keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia di bawah pimpinan PNI.
Bung Karno berharap bangsa Indonesia dapat bersatu padu, karena hanya dengan cara begitu mereka dapat menang menghadapi penjajah. Untuk itu paham atau ideologi yang berbeda perlu dipersatukan lewat persamaan-persamaan yang ada. Demikianlah Bung Karno pada tahun 1926 mengajak pendukung ideologi Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme untuk dapat dan mau bersatu. Perbedaan- perbedaan yang ada mestinya dikesampingkan.
Memang kehendak Bung Karno mempersatukan ketiga paham itu sesuatu yang mungkin. Perekat persatuannya adalah kesamaan umur. Ketiga paham itu anti kapitalisme dan imperialisme, pro kemerdekaan dan kesejahteraan umum.
Mungkinkah hal itu? Bagi pemikiran Bung Karno hal itu memang sesuatu yang mungkin, karena Bung Karno menyederhanakan persoalan. Hal itu dapat Bung Karno lakukan, menurut Berhhard Dahm dalam bukunya Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, karena pemahaman Bung Karno akan ketiga aliran (ideologi) itu agak dangkal.
Dalam kaitan dengan judul tulisan ini yang substansial adalah pengenalan tiga nilai dasar, yang kelak berkembang menjadi Pancasila. Ketiga nilai dasar itu adalah: Nasionalisme, yang bermakna kebangsaan, Islamisme yang bermakna Ketuhanan, dan Marxisme yang berawal dari sosialisme atau keadilan sosial. Hal itu disampaikan Bung Karno pada tahun 1926 lewat SK Suluh Indonesia Muda.
Menuju ke Pancasila Bung Karno belum menyatukan gagasannya dengan nilai kerakyatan (demokrasi). Tampaknya menunggu sampai nilai kerakyatan itu dicanangkan oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925, sehingga Bung Karno menemukan nilai dasar yang keempat itu.
Namun ada hal yang agak kurang konsisten dalam PNI. Sesungguhnya pada waktu PNI sudah berdiri dan berjuang, ia sudah mengenal lima asas yaitu: 1. Nasionalisme, 2. Islamisme, 3. Sosialisme, 4. Kerakyatan, 5. Kemanusiaan.
Tetapi Bung Karno dalam tulisan-tulisannya yang dimuat dalam Dibawah Bendera Revolusi (DBR) menyatakan asas/ideologi PNI adalah Marhaenisme, yaitu asas/ideologi kerakyatan yang memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar yang terkandung di dalamnya adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah rasa cinta bangsa yang diimbangi dengan rasa kemanusiaan. Sedangkan sosio-demokrasi adalah kerakyatan yang diimbangi dengan kesejahteraan. Sosio- demokrasi dapat diartikan pula sebagai demokrasi politik disertai demokrasi ekonomi.
Meski agama, khususnya agama Islam, sudah sering dipikirkan, tetapi ternyata dalam Marhaenisme agama belum mendapatkan tempat yang mantap.
Bung Karno masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk memasukkan ketuhanan ke dalam sistem "filsafatnya". Tampaknya ia perlu memikirkan status agama lain supaya ia dapat memasukkan dasar ketuhanan, yang lebih luas dari pada sekadar keislaman.
Maka dapat dipahami bahwa baru pada tahun 1945 Bung Karno selesai merumuskan dan memadukan lima nilai, yaitu Pancasila, menjadi dasar filsafat negara. Itulah tawaran Bung Karno dalam menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dokter Radjiman. "Indonesia merdeka yang akan kita dirikan apa dasarnya?" Tawaran Bung Karno diterima oleh BPUPKI yang kemudian membahas dan merumuskannya kembali, dan PPKI menetapkannya menjadi dasar filsafat Pancasila.
Dari uraian diatas nyata bahwa penemuan dan penetapan Pancasila menjadi dasar filsafat itu berproses dari pemikiran 1926 sampai 1945 (lebih kurang 20 tahun).
Maka dari itu kita sekarang pantas bersyukur atas jasa Bung Karno dan para founding fathers. Sesungguhnya merupakan suatu kesepakatan demokratis demi hidup bersama dan bekerjasama rakyat Indonesia yang begitu bhineka. Dengan Pancasila kebhinekaan itu disatukan, integrasi terwujudkan.
Saya mengajak pembaca khususnya dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya untuk mengamalkan Pancasila. Yakinlah hanya dengan kembali ke Pancasila integrasi bangsa dapat dipulihkan.
terminologi Pancasila.
Mengapa Bung Karno menggunakan terminologi Pancasila? Terutamanya ianya adalah bahasa Sanskerta. Ketika jaman kolonial, bahasa sanskerta cukup terbatas penggunaannya dikalangan bangsa Indonesia. Pancasila juga adalah rukun agama Buddha, maka senang terkeliru dengan Pancasila Indonesia. Apakah terdapat kisah disebalik penggunaan terminologi ini? 141.213.240.242 06:40, 9 Februari 2006 (UTC) Makna objektif? perlu diganti
bennylin 00:07, 30 Agustus 2007 (UTC) Saya rasa banyak penafsiran kelima sila Pancasila yang bersifat objektif (tanpa sumber, makna tersebut hanyalah penafsiran orang tertentu). Bagaimana menurut yang lain?
Oleh: G Moedjanto
Dalam menangkap kembali peran Bung Karno tersebut akan penulis sajikan tinjauan tentang studi dan aktivitas sosial- politiknya, yang kemudian berujung pada sumbangnya menggali nilai-nilai budaya yang menjadi causa materialis bagi keberadan dasar filsafat negara Pancasila.
Pengetahuan yang diperlukan Bung Karno memang lahir di Surabaya, tetapi masa remajanya dihabiskan di Mojokerto. Di kota kecil itu ia belajar ELS (Europeesch Lagere School/sekolah dasar buat anak-anak Eropa).
Masuknya Bung Karno kecil di ELS tersebut mengisyaratkan bahwa dirinya lebih dibandingkan anak orang kebanyakan. Untuk dapat belajar di sekolah itu ia harus mampu berbahasa Belanda, dan SPP sekolah tersebut mahal.
Dari ELS ia meneruskan pendidikannya di HBS (Hogere Burger School, SLTP dan SLTA disatukan). Tentu biayanya lebih mahal lagi. Meski demikian ayahnya, yang Kepala Sekolah Rakyat (Volkschool), dapat membiayainya dengan mengabaikan pendidikan saudara-saudara perempuannya.
Ia menyelesaikan studi di HBS pada tahun 1921, lalu melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Tehnik (Technische Hofe School dan akhirnya mendirikan dan memimpin PNI tahun 1927.
Untuk mendukung posisi kepemimpinannya Bung Karno belajar banyak, dengan membaca buku-buku di perpustakaan Teheosophie di Surabaya dan STT Bandung. Ia juga belajar dari kehidupan alam dan lingkungan sosial setempat.
Maka pengetahuan Bung Karno sangat luas. Andai saja Bung Karno hanya memperlajari ilmu teknik melulu, Indonesia tidak akan mengenal pemimpin nasional bernama Sukarno (Bung Karno).
Hal penting lain yang terbukti kelak menjadi unggulan Bung Karno adalah kepandaiannya berpidato. Salah seorang yang dapat disebut sebagai guru berpidatonya adalah HOS Tjokroaminoto. Kebetulan selama di HBS, Bung Karno muda mondok di rumah Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam terkemuka.
Bung Karno memang mampu berpidato selama berjam-jam tanpa pendengarnya bosan. Kepandaiannya berpidati bukan saja diakui di Indonesia, tetapi juga di luar negeri, seperti di Australia dan Amerika.
Di sekitar PNI Dengan bekal yang begitu besar tidaklah mustahil Bung Karno dapat berbuat begitu banyak untuk bangsanya dalam perjuangan kemerdekaan. Dimulai dengan pendirian Algemene Studie Club di Bandung pada tahun 1925. Perkumpulan itu seperti kelompok diskusi yang banyak didirikan oleh para mahasiswa dan cendekiawan sekarang. Kelompok diskusi itu memang baru merupakan perkumpulan akademis-teoritis (academic exercise). Dalam aktivitasnya Algemene Studie Club 1925 sampai Juni 1927 memang masih terbatas pada studi teori. Hal itu juga karena PKI masih jaya dan sanggup memegang "komando" pergerakan kebangsaan. Tetapi sesudah kegagalan pemberontakan rakyat yang digerakkan PKI November 1926 - Februari 1927 terjadilan "kekosongan" pimpinan pergerakan kemerdekaan. Oleh karena itu perlulah "kekosongan" itu diisi, dan sudah saatnya Algemene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Menarik perhatian bahwa peresmian berdirinya PNI berlangsung pada tanggal 4 Juli 1927.
Tanggal kelahiran PNI jelas bukan suatu kebetulan. Almarhum Adam Malik dalam bukunya Adam Malik Mengabdi RI pernah menjelaskan bahwa pilihan tanggal 4 Juli ada kaitannya dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat.
Sejarah mencatat proklamasi kemerdekaan Amerika berlangsung pada tanggal 4 Juli 1776 di Philadelpia. Dengan memilih 4 Juli sebagai hari berdirinya PNI, para pemimpin PNI berharap semangat, siasat dan keberhasilan revolusi kemerdekaan Amerika akan mengilhami semangat, siasat dan keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia di bawah pimpinan PNI.
Bung Karno berharap bangsa Indonesia dapat bersatu padu, karena hanya dengan cara begitu mereka dapat menang menghadapi penjajah. Untuk itu paham atau ideologi yang berbeda perlu dipersatukan lewat persamaan-persamaan yang ada. Demikianlah Bung Karno pada tahun 1926 mengajak pendukung ideologi Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme untuk dapat dan mau bersatu. Perbedaan- perbedaan yang ada mestinya dikesampingkan.
Memang kehendak Bung Karno mempersatukan ketiga paham itu sesuatu yang mungkin. Perekat persatuannya adalah kesamaan umur. Ketiga paham itu anti kapitalisme dan imperialisme, pro kemerdekaan dan kesejahteraan umum.
Mungkinkah hal itu? Bagi pemikiran Bung Karno hal itu memang sesuatu yang mungkin, karena Bung Karno menyederhanakan persoalan. Hal itu dapat Bung Karno lakukan, menurut Berhhard Dahm dalam bukunya Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, karena pemahaman Bung Karno akan ketiga aliran (ideologi) itu agak dangkal.
Dalam kaitan dengan judul tulisan ini yang substansial adalah pengenalan tiga nilai dasar, yang kelak berkembang menjadi Pancasila. Ketiga nilai dasar itu adalah: Nasionalisme, yang bermakna kebangsaan, Islamisme yang bermakna Ketuhanan, dan Marxisme yang berawal dari sosialisme atau keadilan sosial. Hal itu disampaikan Bung Karno pada tahun 1926 lewat SK Suluh Indonesia Muda.
Menuju ke Pancasila Bung Karno belum menyatukan gagasannya dengan nilai kerakyatan (demokrasi). Tampaknya menunggu sampai nilai kerakyatan itu dicanangkan oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925, sehingga Bung Karno menemukan nilai dasar yang keempat itu.
Namun ada hal yang agak kurang konsisten dalam PNI. Sesungguhnya pada waktu PNI sudah berdiri dan berjuang, ia sudah mengenal lima asas yaitu: 1. Nasionalisme, 2. Islamisme, 3. Sosialisme, 4. Kerakyatan, 5. Kemanusiaan.
Tetapi Bung Karno dalam tulisan-tulisannya yang dimuat dalam Dibawah Bendera Revolusi (DBR) menyatakan asas/ideologi PNI adalah Marhaenisme, yaitu asas/ideologi kerakyatan yang memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai dasar yang terkandung di dalamnya adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Sosio-nasionalisme adalah rasa cinta bangsa yang diimbangi dengan rasa kemanusiaan. Sedangkan sosio-demokrasi adalah kerakyatan yang diimbangi dengan kesejahteraan. Sosio- demokrasi dapat diartikan pula sebagai demokrasi politik disertai demokrasi ekonomi.
Meski agama, khususnya agama Islam, sudah sering dipikirkan, tetapi ternyata dalam Marhaenisme agama belum mendapatkan tempat yang mantap.
Bung Karno masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk memasukkan ketuhanan ke dalam sistem "filsafatnya". Tampaknya ia perlu memikirkan status agama lain supaya ia dapat memasukkan dasar ketuhanan, yang lebih luas dari pada sekadar keislaman.
Maka dapat dipahami bahwa baru pada tahun 1945 Bung Karno selesai merumuskan dan memadukan lima nilai, yaitu Pancasila, menjadi dasar filsafat negara. Itulah tawaran Bung Karno dalam menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dokter Radjiman. "Indonesia merdeka yang akan kita dirikan apa dasarnya?" Tawaran Bung Karno diterima oleh BPUPKI yang kemudian membahas dan merumuskannya kembali, dan PPKI menetapkannya menjadi dasar filsafat Pancasila.
Dari uraian diatas nyata bahwa penemuan dan penetapan Pancasila menjadi dasar filsafat itu berproses dari pemikiran 1926 sampai 1945 (lebih kurang 20 tahun).
Maka dari itu kita sekarang pantas bersyukur atas jasa Bung Karno dan para founding fathers. Sesungguhnya merupakan suatu kesepakatan demokratis demi hidup bersama dan bekerjasama rakyat Indonesia yang begitu bhineka. Dengan Pancasila kebhinekaan itu disatukan, integrasi terwujudkan.
Saya mengajak pembaca khususnya dan seluruh bangsa Indonesia pada umumnya untuk mengamalkan Pancasila. Yakinlah hanya dengan kembali ke Pancasila integrasi bangsa dapat dipulihkan.
terminologi Pancasila.
Mengapa Bung Karno menggunakan terminologi Pancasila? Terutamanya ianya adalah bahasa Sanskerta. Ketika jaman kolonial, bahasa sanskerta cukup terbatas penggunaannya dikalangan bangsa Indonesia. Pancasila juga adalah rukun agama Buddha, maka senang terkeliru dengan Pancasila Indonesia. Apakah terdapat kisah disebalik penggunaan terminologi ini? 141.213.240.242 06:40, 9 Februari 2006 (UTC) Makna objektif? perlu diganti
bennylin 00:07, 30 Agustus 2007 (UTC) Saya rasa banyak penafsiran kelima sila Pancasila yang bersifat objektif (tanpa sumber, makna tersebut hanyalah penafsiran orang tertentu). Bagaimana menurut yang lain?
Oleh: G Moedjanto
1 comments:
salam kenal, kunjungi juga blog aku
semoga selalu sukses