Teknik Pemetaan
Secara garis besar terdapat tiga teknik pemetaan yaitu sebagai berikut :
1. Pembacaan Peta
Pada tahap pertama dalam penggunaan peta pengguna mencoba mengidentifikasi simbol, membaca apa arti simbol. Untuk ini pengguna harus mengetahui terlebih dahulu bahasa peta. Bahasa peta yang dimaksud adalah informasi tepi peta yang meliputi : judul, nomor lembar peta, skala, orientasi, sumber pembuat peta, proyeksi, dan tidak lupa pula mengenai keterangan atau legenda. Jadi sebelum pengguna berusaha mengartikan simbol-simbol yang ada di dalam muka peta pengguna disarankan untuk mempelajari dulu informasi-informasi tepi peta termasuk di dalamnya adalah legenda. Dengan demikian begitu melihat simbol di dalam peta pengguna sudah tidak ada keragu-raguan mengenai makna ataupun bentuk unsur lingkungan yang tidak benar adalah pengguna langsung berusaha menterjemahkan arti simbol-simbol yang ada tanpa mempelajari legenda maupun informasi tepi peta yang lain terlebih dahulu (Sukwardjono dan Mas Sukoco, 1997).
2. Analisa Peta
Apabila sudah mengetahui apa yang digambarkan dalam peta, langkah selanjutnya adalah mengukur atau mencari nilai dari unsur-unsur tersebut. Pada tahap ini diperlukan berbagai peralatan untuk membantu menentukan nilai unsur yang bersangkutan. Unsur-unsur geografis yang digambarkan dalam peta dapat dikelompokkan menjadi :
1) Posisional, yakni unsur-unsur yang tidak mempunyai dimensi atau perluasan, misalnya: titik ketinggian, sumur pengeboran, pusat pelayanan dan sebagainya. Nilai dari unsur-unsur ini dapat dilihat angka yang ada atau dihitung dengan menjumlahkan titiknya;
2) Linear, yakni unsur yang mempunyai perluasan pada satu sisi atau unsur dimensi satu, misalnya: jalan, jalan kereta api, sungai, garis pantai, dan sebagainya. Untuk data linear ini nilai tergantung panjang- pendek unsur yang digambarkan;
3) Sedangkan unsur yang mempunyai bentuk perluasan atau yang berdimensi dua nilai ditentukan berdasar luasnya. Bahkan unsur yang berdimensi tiga dapat ditentukan volumenya misalnya volume waduk, jumlah curah hujan, volume cadangan bahan galian dan sebagainya. Dari tahap ini didapatkan suatu nilai, ataupun bentuk pola persebaran dari unsur yang digambarkan. Jadi dalam tahap analisis peta ini ciri utamanya adalah perhitungan ataupun pengamatan pola keruangan (Sukwardjono dan Mas Sukoco, 1997).
3. Interpretasi Peta
Menurut Sukwardjono dan Mas Sukoco (1997) pada tahap ketiga dalam penggunaan peta atau yang disebut interpretasi peta, pengguna berusaha mencari jawab mengapa di bagian tertentu terjadi pengelompokan (pola) yang berbeda dengan pola di bagian lain dari peta yang sama.
Peta sebagai rekaman lingkungan geografi baik fisik maupun sosial ekonomi sangat penting bagi manusia, sebagai alat observasi. Dalam mempergunakannya peta sesuai dengan kepentingannya antara satu dengan yang lain berbeda. Oleh karena itu cukuplah apabila untuk secara umum sampai pada tahap membaca saja, sedangkan untuk suatu kepentingan khusus perlu dipelajari penggunaan peta yang lebih lanjut sampai pada analisis maupun interpretasi peta.
Ketidaksamaan informasi yang disajikan pada berbagai peta yang mempunyai skala yang berbeda timbul karena adanya aspek generalisasi. Generalisasi itu sendiri dapat berarti pemilihan dan penyederhanaan elemen-elemen pada peta. Generalisasi muncul karena bertambahnya kepadatan isi peta oleh reduksi skala dan terbatasnya kemampuan mata dalam melihat ukuran minimum pada peta. Generalisasi berkaitan erat dengan skala peta dan tujuan pembuatan peta. Pada dasarnya generalisasi dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Generalisasi geometrik, yaitu lebih pada penyederhanaan bentuk
2. Generalisasi konseptual, yaitu lebih kepada penyederhanaan subyek yang dipetakan (dilakukan oleh orang yang mengerti tentang konsep unsur yang digambarkan)
Aspek generalisasi terdiri dari:
1. Pemilihan
2. Penyederhanaan
3. Penghilangan
4. Pembesaran/eksagerasi
5. Pergeseran tempat (displacement)
6. Menitik-beratkan (emphasizing)
7. Kombinasi
8. Klasifikasi
Cara generalisasi dapat dilakukan secara:
1. Langsung pada peta yang telah dikecilkan
2. Dilakukan pada peta asli sebelum dikecilkan
3. Dilakukan melalui skala perantara
Dari suatu pola spasial fenomena pada kawasan yang diamati pada Kabupaten Banyumas. Tentunya akan menimbulkan konsekuensi yang terjadi akibat adanya distribusi spasial. Untuk Kabupaten Banyumas sendiri komposisi dalam konsep tata ruang kota Kabupaten Banyumas tak seimbang antara kawasan permukiman, pertokoan, dan perkantoran. Hal tersebut disebabkan Sumber Daya Alam sebagai dasar penyusunan konsep tata ruang kota kurang diperhatikan. Sehingga dapat dikatakana tata ruang kotanya berpola campuran. Tentunya pertimbangannya adalah kurang jelasnya mana kawasan perkantoran, permukiman dan pertokoan. Untuk itu diperlukan suatu langkah dalam mengoptimalkan tata ruang kota Kabupaten Banyumas. Dimana cara yang sebaiknya dilakukan ialah penataan kawasan kota yang telanjur semrawut sebaiknya tidak diteruskan dengan menambah pusat keramaian baru seperti mal, supermarket, dan pusat perbelanjaan.
Penyusunan tata ruang kota seharusnya memperhatikan kondisi fisik seperti faktor ketersediaan air, tingkat kesuburan tanah, kemiringan atau reliaf tanah, ada tidaknya sungai, serta potensi bencana. Sedangkan untuk kondisi sosial budaya yang perlu diperhatikan ialah keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan potensi sumber daya alam. Serta perlu adanya langkah-langkah efektif yang perlu dilakukan oleh Pemda. Seperti pusat keramaian harus didistribusikan sampai ke pinggiran kota. Demikian juga penambahan ruang publik, taman, dan hutan kota yang tak dimiliki Kabupaten Banyumas. Namun hal tersebut masih perlu pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam perealisaiannya karena kendala lokasi yang strategis, sempitnya luasan arelnya. Konsekuensi lain yang perlu diperhatikan ialah masalah penambahan volume kendaraan yang menimbulkan kemacetan lalu lintas dan polusi udara. Untuk itu perlu dilakukan perluasan kota yang sebaiknya dilakukan kearah pinggiran seperti arah Sokaraja di timur serta ke selatan dan barat. Solusi lain yang perlu dilakukan ialah dengan pembuatan hutan kota. Hutan kota adalah areal yang kompak dan cukup luas yang berfungsi sebagai paru-paru kota dan harus ditempatkan di daerah padat aktivitas transportasi. Sedangkan untuk penambahan pusat pendidikan tidak jadi masalah, karena masih berada di dalam kota. Serta tingkat kesemrawutan jalan tidak separah apabila dibandingkan dengan menambah pusat keramaian.
Sementara itu untuk tata ruang desanya sendiri sudah cukup teratur. Hal ini dibuktian dengan sudah terpenuhinya fasilitas-fasilitas pendidikan, kesehatan yang sebanding dengan jumlah penduduk. Meskipun mulai timbul suatu konsekuensi yang harus diambil akibat dari perubahan penggunaan lahan yaitu banyak terjadi konversi lahan pertanian kelahan terbangun. Hal ini terjadi dikarenakan :
1. Lahan-lahan pertanian berada di lokasi-lokasi yang strategis untuk aktifitas dan pemukiman penduduk.
2. Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat
3. Banyaknya penelantaran lahan sawah,
4. Land rent lahan pertanian lebih tinggi dari pada lahan lainnya
Konversi lahan sendiri memiliki dampak yang secara logis terjadi yaitu kenaikan produktifitas lahan dan penurunan sektor pertanian. Kenaikan produktifitas lahan disini berarti lahan lebih produktif dalam hal nilai jualnya. Karena fungsi lahan yang sudah berubah dari sawah menjadi permukiman. Sedangkan untuk penurunan sektor pertanian bila dilogikakan memang benar. Karena bila luasan lahan pertanin berkurang maka hasil dari sektor pertanian akan berkurang juga. Tapi melihat fakta dari data yang ada (Dinas Ketahanan Pangan). Produksi Pertanian untuk Kabupaten Banyumas masih cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Dengan pendistribusin yang cukup baik. Jadi dapat dikatakan konversi lahan pertanian ke lahan terbangun tidak selamanya menyebabkan penurunan sektor pertanian.
Suatu Pola spasial yang menandai adanya fenomena Perubahan Penggunaan Lahan maupun tata ruang dapat dicirikan karena adanya interkasi antar daerah (baik itu antar Kecamatan maupun Kelurahan) dalam suatu suatu kabupaten. Secara geografis suatu daerah yang berada dalam satu kawasan saling berhubungan dan mempengaruhi,
Metode yang umum digunakan untuk mengukur interaksi antar daerah adalah batas antar daerah. Batas antar daerah adalah suatu lokasi dimana kondisi ekonomi dapat berubah secara tiba-tiba akibat adanya perbedaan kebijakan pemerintah daerah yang berbatasan seperti dalam sistem retribusi pajak atau dalam biaya transportasi. Serta bisa juga diakibatkan kerena perubahan peruntukan penggunaaan lahan.
Dalam menganalisis interaksi spasial antar kecamatan di Kabupaten Banyumas di dasarkan pada beberapa hal yaitu :
a) Letak masing-masing kecamatan yang berbatasan langsung dengan kecamatan lainnya
b) Jarak antar masing-masing kecamatan
c) Keterkaitan antara kinerja sistim agropolitan dan kinerja pembangunan ekonomi daerah Kabupaten Banyumas;
Selanjutnya ialah kita menentukan kesesuaian jenis penggunaan lahan yang optimal pada setiap satuan lahan per Kecamatan yang mempertimbangkan baik kondisi fisik maupun ekonominya. Serta konservasi Sumberdaya Lingkungan untuk penggunaan yang akan datang. Cara penentuannya ialah dengan Evaluasi lahan. Evaluasi lahan adalah upaya penilaian atau penafsiran terhadap kinerja suatu lahan bila digunakan untuk suatu penggunaan. Evaluasi lahan mencakup dua aspek utama yaitu Sumber Daya Fisik (seperti curah hujan, lereng, tanah, dan land use), dan Sumber Daya Ekonomi seperti ukuran usaha tani, tingkat manajemen, ketersediaan tenaga kerja dan lain–lain. Dari evaluasi lahan inilah diharapkan dapat diketahui aktifitas penggunaan lahan (supply) dan jumlah pangan yang dikonsumsi masyarakat setempat (demand). Dalam hal ini ialah penggunaan lahan untuk pertanian.
Pola spasial penggunaan lahan yang diamati dalam lingkup kabupaten dapat dilakukan dengan metode transect. Pada dasarnya metode transect ini digunakan untuk mengetahui suatu perubahan peruntukan lahan pada kawasan yang dikaji. Pembuatan transect ini dimulai dari timur ke arah barat dengan pertimbangan :
1. Daerah yang dilalui transect lebih beragam dalam hal pemanfaatan ruang.
2. Kemiringan lereng yang relatif landai baik pada daerah Purwokerto.
3. Perubahan tata ruang yang lebih cepat pada daerah pinggiran kota
Pola spasial hasil pengamatan disepanjang transect dapat dilihat adanya perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya didominasi oleh sawah dan perkubanan rakyat selanjutnya dijadikan areal permukiman, perubahan penggunaan lahan ini dinilai dari potensi lahan yang dimilki pada suatu daerah. Pada satu titik sampel dinilai dari kemiringan lereng pada daerah tersebut, jenis tanah yang dikaitkan dengan tingkat kesuburan tanah selain itu ketersediaan air pada titik sampel juga menjadi parameter dalam menilai potensi lahan. Sepanjang transect penggunaan lahan didominasi oleh permukiman.
Klasifikasi citra penginderaan jauh (inderaja) bertujuan untuk menghasilkan peta tematik, dimana tiap warna mewakili sebuah objek, misalkan hutan laut, sungai, sawah dan lain-lain (Agus Zainal Arifin dan Aniati Murni 2007).
Klasifikasi citra digital merupakan proses pengelompokan piksel ke dalam kelas-kelas tertentu. Hal ini sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam klasifikasi multispektral ialah bahwa setiap objek dapat dibedakan dari yang lainnya berdasarkan nilai spektralnya (Projo Danoedoro,1996). Pada umumnya Klasifikasi citra digital yang digunakan adalah klasifikasi terselia (supervised).
Menurut Projo Danoedoro (1996) klasifikasi supervised ini melibatkan interaksi analis secara intensif, dimana analis menuntun proses klasifikasi dengan identifikasi objek pada citra (training area). Sehingga pengambilan sampel perlu dilakukan dengan mempertimbangkan pola spektral pada setiap panjang gelombang tertentu, sehingga diperoleh daerah acuan yang baik untuk mewakili suatu objek tertentu.